Kejatuhan Kekhalifahan Turki Utsmani : Analisis Dampak Terhadap Gerakan Islam Politik di Indonesia

Kejatuhan Kekhalifahan Turki Utsmani : Analisis Dampak Terhadap Gerakan Islam Politik di Indonesia

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Muthi Annafi’ah Ilham

Historisme Kekhalifahan Turki Utsmani Hingga Berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI) 

Sejarah kekhalifahan Turki Utsmani telah memainkan peran penting dalam perkembangan dunia Islam. Dari puncak kejayaannya hingga masa keruntuhan, kekhalifahan ini telah membentuk lanskap politik, ekonomi, dan sosial dunia Islam. Pada saat yang sama, peran penting Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam mewarisi peran Kekhalifahan dan menjaga kepentingan bersama umat Islam pasca-Kekhalifahan menyoroti evolusi dinamis politik Islam modern.

Perjalanan kekhalifahan Utsmani hingga berdirinya Organisasi Konferensi Islam mencerminkan transformasi yang signifikan dalam dunia Islam dari kekaisaran yang besar menjadi organisasi internasional yang berusaha memperkuat solidaritas di antara negara-negara Muslim. 

Kekhalifahan Turki Utsmani yang juga dikenal sebagai Kesultanan Utsmaniyah, didirikan pada awal abad ke-14 oleh Osman I. Kesultanan ini menjadi Kekhalifahan yang kuat di dunia Islam. Politiknya didasarkan pada sistem monarki absolut, ekonominya didukung perdagangan, dan sosialnya mencakup beragam etnis, agama dan budaya.

Perkembangan politik Kesultanan Utsmaniyah mencakup ekspansi wilayah yang luas, termasuk penaklukan Konstatinopel pada tahun 1453 yang kemudian menjadi ibu kota Kekhalifahan dengan nama Istanbul. Selama berabad-abad Kesultanan ini mempertahankan kekuasaannya memalui sistem administratif yang efisien dan militer yang kuat.
Secara ekonomi, kesultanan ini mengalami masa keemasan saat perdagangan rempah-rempah antara Timur Tengah dan Eropa. Kesultanan juga memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk pertanian yang subur di sepanjang Sungai Nil dan Tigris-Efrat. 

Sosialnya ditandai dengan pluralitas etnis dan agama, dimana penduduknya berasal dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Dengan sistem millet memungkinkan kelompok agama non-Muslim untuk mengatur urusan internal mereka sendiri, secara komunitas Muslim diatur oleh hukum Islam. 

Pada abad ke-18 dan ke-19, Kekhalifahan mulai menghadapi tantangan internal dan eksternal, seperti kemunduran ekonomi, pemberontakan di berbagai daerah, serta tekanan dari kekuatan kolonial Eropa. Hak ini menyebabkan serangkaian reformasi yang dikenal sebagai Tanzimat pada pertengahan abad ke-19, yang bertujuan untuk memodernisasi militer dan administrasi kekaisaran, meskipun hasilnya tidak selalu efektif. 

Setelah runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyyah, dunia Islam mengalami transisi yang panjang. Negara-negara muslim mulai mencari bentuk baru untuk bekerja sama dan persatuan di tengah tantangan modernitas dan kolonialisme. Upaya ini mencapai salah satu titik pentingnya dengan mendirikan Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Organisasi Konferensi Islam (OKI) didirikan pada 25 September 1969 di Rabat, Maroko, atas prakarsa Raja Hassan II dari Maroko dan Raja Faisal dari Arab Saudi. Organisasi ini bertujuan untuk memperkuat solidaritas dan kerja sama antara negara-negara Muslim. Tujuan lainnya meliputi meningkatkan dukungan penuh politik, diplomatik, dan upaya legal untuk melindungi hak-hak dasar rakyat Palestina.  OKI telah menjadi platform penting bagi negara-negara Muslim untuk berkolaborasi dalam berbagai isu, termasuk politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta menanggapi tantangan yang dihadapi oleh komunitas Muslim global. Dengan begitu, pendirian OKI menandai upaya modern dalam mencari bentuk baru persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Islam, yang berakar dari sejarah panjang Kekhalifahan Utsmaniyyah.  

Sebab-Sebab Keruntuhan Turki Utsmani 

Kekhalifahan Turki Utsmani di mulai pada abad ke-18  dan berakhir secara resmi pada tanggal 3 maret 1924 ketika Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Republik Turki modern, menghadapi institusi khilafah sebagai bagian dari serangkaian reformasi sekularisasinya. Keputusan ini mengakhiri lebih dari 6 abad kekuasaan dinasti Utsmani dan menandai transisi Turki dari sebuah Kerajaan Islam menjadi negara Republik yang modern dan sekuler.

Banyak peristiwa penting sebelum kejatuhan Kekhalifahan Turki Utsmani. Pada tahun 1914-1918 terjadi perang dunia. Kekhilafahan Turki bergabung dengan Blok Sentral (Jerman dan Australia-Hongaria) dalam perang dunia I, yang berakhir dengan kekalahan mereka. Perang ini melemahkan kekaisaran secara signifikan, baik dari segi militer maupun ekonomi. 

Runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyyah adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah dunia, menandai berakhirnya sebuah era dalam sejarah Islam dan akhir dari sebuah imperium yang berdiri selama lebih dari enam abad, serta mengubah peta politik dunia secara drastis, dengan banyak negara baru yang muncul di bekas wilayah Kekhalifahan. Pada awal abad ke-20, kekhalifahan ini mulai mengalami kemunduran yang tak terelakkan, yang diakibatkan oleh berbagai faktor internal dan eksternal. 

Beberapa sebab utama runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyyah
a.    Korupsi dan kemerosotan moral
Kekhalifahan mengalami korupsi yang marajelela di kalangan pejabat tinggi. Para pemimpin lebih mementingkan urusan prbadi daripada kesejahteraan negara.
b.    Kelemahan militer
Pada saat abad-abad terakhir, kekuatan militer Utsmaniyyah menurun drastis. Reformasi militer yang dilakukan seringkali tidak berhasil, dan kekalahan dalam berbagai peperangan termasuk saat perang dunia I, mengikis semangat tentara tentara Utsmaniyyah.
c.    Tekanan eksternal
Secara signifikan negara-negara Eropa seperti Kekaisaran Australia-Hungaria, Rusia dan Inggris melemahkan Kekhalifahan Utsmaniyyah dan terus menerus menghadapi tekanan.
d.    Masalah ekonomi
Krisis ekonomi Kekhalifahan Utsmaniyyah mengakibatkan ketidakpuasan sosial yang sangat meluas. Sehingga mengalami kemunduran karena manajemen yang buruk, utang luar negri yang tinggi, dan ketidakmampuan untuk mengadopsi teknologi serta metode ekonomi modern.
e.    Gerakan nasionalisme
Munculnya gerakan nasionalisme di berbagai wilayah seperti Balkan, Arab, dan Armenia dan bangsa-bangsa tersebut menuntut kemerdekaan dan otonomi yang mempercepat disintegrasi wilayah Kekhalifahan. 
f.    Reformasi tanzimat dan kritis politik
Upaya reformasi administratif, hukum, dan sosial melalui Tanzimat pada abad ke19 tidak berhasil menyelamatkan Kekhalifahan. Reformasi ini sering kali menimbulkan ketidakpuasan di berbagai kalangan dan memperburuk krisis politik yang ada.
g.    Pengaruh barat dan modernisasi yang gagal
Usaha untuk memodernisasi negara dan mengadopsi sistem barat tidak konsisten dan setengah hati. Pengaruh budaya dan politik barat yang semakin besar juga mengakibatkan perpecahan dan ketidakstabilan internal. 

Dampak Positif dan Negatif Kejatuhan turki Utsmani

Diantara dampak positif utama dari Kekhalifahan ini ialah penyebaran Islam dan kebudayaan islam ke wilayah-wilayah yang luas, termasuk Eropa Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Selain itu Perdagangan internasional Kekhalifahan Turki Utsmani menghubungkan Eropa dengan Asia melalui rute perdagangan darat dan laut. Inovasi dalam bidang pertanian, seperti irigasi dan teknologi pertanian lainnya, juga memberikan manfaat besar bagi masyarakat di wilayah kekhalifahan.

Namun, di balik prestasi-prestasi yang di raih Kekhalifahan Turki Utsmani, juga menghadirkan dampak negatif yang signifikan. Ketika memasuki periode kemunduran, korupsi dan kemerosotan moral di kalangan elit pemerintahan menjadi masalah serius. Kemudian kemunduran militer dan kekalahan dalam berbagai perang, termasuk perang Dunia I. Selain itu, tekanan eksternal dari negara-negara Eropa yang terus menerus berusaha mengeksploitasi kelemahan Utsmani menciptakan situasi yang semakin tidak stabil. 

Keruntuhan Turki Utsmani tidak hanya memengaruhi wilayahnya sendiri tetapi juga memiliki dampak luas yang mengubah dinamika global, terutama dalam konteks perdagangan dan interaksi budaya antara Timur dan Barat. Juga berdampak dalam struktur sosial dan budaya di negara-negara lain. Seperti di Eropa, yang berkontribusi pada munculnya renaisans dan mengakhiri abad pertengahan, mengubah cara pandang Eropa terhadap ilmu pengetahuan dan agama.  

Setelah runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani, dunia Islam mengalami transformasi besar yang dipengaruhi oleh modernisasi, kolonialisme, dan globalisasi. Namun, semangat kebangkitan Islam tetap hidup dan terus berkembang, dengan harapan membangun kembali identitas dan kekuatan dunia silam di era modern.

Pembentukan negara-negara baru dari reruntuhan Kekhalifahan Utsmani membawa tantangan tersendiri, seperti munculnya gerakan nasionalisme. Dominasi asing, terutama melalui sistem mandat oleh negara-negara Barat, menyebabkan eksploitasi sumber daya dan penindasan terhadap penduduk lokal.

Secara keseluruhan, sejarah Kekhalifahan Turki Utsmani memberikan pelajaran penting tentang bagaimana sebuah imperium besar dapat memberikan kontribusi luar biasa dalam bidang budaya dan ilmu pengetahuan, tetapi juga bagaimana kelemahan internal dan tekanan eksternal dapat mengarah pada keruntuhan yang berdampak panjang bagi wilayah dan masyarakat yang pernah berada di bawah kekuasaannya. Dampak-dampak ini tetap relavan dalam memahami dinamika politik dan sosial di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya hingga hari ini.

Analisis Dampak Kejatuhan Turki Utsmani dengan Peran dan Posisi Islam Politik di Indonesia 

Redefinisi da’wah pasca kejatuhan kekhalifahan Turki Utsmani memiliki dampak terhadap peran dan posisi Islam politik di Indonesia. Dampak utamanya adalah kehilangan sentralitas Kekhalifahan. Yang mana Kekhalifahan Utsmani sering dianggap simbol persatuan umat Islam di dunia. Indonesia termasuki merasakan hilangnya pemimpin spritual yang menyatukan. 

Kemudian gerakan-gerakan Islam di Indonesia mulai fokus pada penerapan Islam di konteks nasional. Organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU yang sebelumnya terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan, mulai memainkan peran yang lebih politis tapi memiliki alasan untuk memperkuat identitas Islam dalam konteks negara-bangsa. 

Redefinisi da’wah di Indonesia sebagai alat politik, da’wah mulai tidak hanya di lihat sebagai upaya penyebaran agama semata, tetapi juga sebagai alat politik untuk mempengaruhi kebijakan negara dan membentuk tatanan sosial yang lebih Islami. Meskipun banyak tantangan yang ada, seperti banyaknya orang Islam sendiri yang memiliki pemikiran sekuler. 

Selain itu, dampak yang besar dari kejatuhan Turki Utsmani ialah, Islam mulai diposisikan sebagai identitas politik yang penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Banyak tokoh-tokoh Islam yang memberikan ide-ide mengenai politik yang Islami.

Kejatuhan Turki Utsmani memicu pemikiran baru di kalangan intelektual Muslim di Indonesia. Banyak pemikir mulai mengekspolasi tentang gagasannya mengenai modernisasi dan reformasi dalam konteks Islam. Kemudian gagasannya ini berfokus pada penegakan syari’at Islam dan pembebasan dari inperialisme, yang kemudian menginspirasi gerakan-gerakan serupa di Indonesia. 

Peristiwa keruntuhan Turki Utsmani juga memunculkan fiksi di antara golongan Islam komunis (golongan pembaharu) dan termasuk pula golongan nasionalis. Jika kemudian golongan Islam pembaharu -yang diwakili SI, Muhammadiyah dan Al-Irsyad- menganggap peristiwa keruntuhan Turki Utsmani sebagai sesuatu yang sangat penting untuk disikapi, tidak demikian halnya dengan golongan Islam komunis. Namun begitu, golongan (Islam) komunis juga tidak menganggap adanya agama atau memusuhi agama Islam. Pihak Islam kiri memang terlihat lebih memusuhi organisasi Islam yang dalam hal ini adalah SI dan Muhammadiyah.

Bagi nasionalis, keruntuhan Turki Utsmani dianggap sebagai momentum kemajuan dan kemerdekaan bagi rakyat untuk memilih persatuan negara-bangsa dengan asas nasionalisme yang sekuler sebagai pengikut yang mampu mengikat beragam komponen masyarakat.  Turki yang saat itu menjadi negara sekuler, bagi kaum nasionalis merupakan sebuah pilihan rasional setelah sebelumnya dengan menggunakan Islam sebagai asas bernegara justru membuat Turki jauh dari kebangkitan dan kemajuan. Pandangan ini jelas di tolak oleh Islam mengingat posisi Islam sebagai asas bernegara justru dikompromikan. Dengan demikian, kondisi ini semakin mempertegas pertentangan yang terjadi di antara kedua golongan ini malah menimbulkan konflik berkepanjangan. 

Perkembangan Islam politik di Indonesia terdapat perubahan lanskap politik yang juga berdampak dari kejatuhan Turki Utsmani, yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan yang berupaya mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam struktur politik dan sosial yang ada.

1.    Ada tidaknya hubungan antara kejatuhan turki utsmani dengan peran dan posisi Islam dan posisi Islam politik Indonesia

Ketika kekhalifahan runtuh, ada dampak besar pada peran dan posisi Islam politik Indonesia. Kekhalifahan ini menjadi simbol penting bagi kekuasaan Islam dan menjadi rujukan politik bagi banyak negara Muslim, termasuk di Indonesia. Tanpa adanya kekhalifahan sebagai pusat otoritas Islam, muncul berbagai gerakan dan organisasi Islam yang bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut. Salah satu organisasi penting yang muncul adalah Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) uang kedua organisasi ini berperan dalam mengedukasi dan memobilisasi umat Islam di Indonesia.

Pada masa kolonial, kekuatan Islam politik di Indonesia berusaha untuk menemukan bentuk baru dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan identitas nasional, setelah kemerdekaan Indonesia, berbagai partai politik Islam muncul, seperti Masyumi dan partai NU, yang berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam pemerintahan Indonesia.

Akan tetapi, hubungan antara kekhalifahan yang runtuh dan perkembangan Islam politik Indonesia tidak sepenuhnya linier atau langsung. Sebaliknya, proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal, termasuk pengaruh kolonialisme, perjuangan kemerdekaan, serta dinamika politik dan sosial di dalam negeri. 

Pada perkembangannya, secara tidak langsung kejatuhan Turki Utsmani  menjadikan hubungan antara negara dengan agama di Indonesia mencerminkan upaya untuk terus mencari kompromi atau jalan tengah di antara berbagai kepentingan ideologis. Dan pada akhirnya pancasila diterima sebagai jalan kompromi antara kalangan nasionalis-agamis, yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, dengan kalangan nasionalis-sekuler. Di situ, Indonesia dikenal sebagai: bukan negara teokratis, dan juga bukan negara sekuler. 

2.    Pengaruh antara kejatuhan Turki Utsmani dengan peran dan posisi Islam Politik Indonesia

Tentunya dalam kejatuhan Turki Utsmani memiliki pengaruh terhadap perkembangan politik Islam di Indonesia. Hal ini mendorong kebangkitan gerakan-gerakan Islam yang bertujuan untuk memperkuat kembali posisi Islam dalam kehidupan politik dan sosial. Seperti hadirnya Ormas Muhammadiyah tahun 1912 dan Nahdatul Ulama tahun 1926. Kedua Ormas ini berusaha mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan modernitas dan pendidikan sebagai respons terhadap kekhawatiran terhadap kemunduran Islam secara global. Kemudian hadirnya gerakan Sarekat Islam (SI), salah satu organisasi politik Islam yang paling berpengaruh di Indonesia. 

Di samping memiliki Ormas dan organisasi Islam, ada beberapa hambatan yang muncul di tengah-tengah Ormas mempertahankan Politik Islam. Sebagian besar rakyat dan pemimpin Indonesia lebih condong pada konsep negara-bangsa yang tidak berdasarkan pada satu agama tertentu. Banyak tokoh nasionalis dan umat Islam moderat yang khawatir bahwa penerapan konsep khilafah akan mengancam kesatuan dan keanekaragaman bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan ide nasionalisme sekuler lebih dominan dalam pembentukan identitas nasional, banyak pandangan antara kelompok Islam tradisional, modernis, dan radikal tentang bagaimana Islam seharusnya berperan dalam politik. 

3.    Faktor-faktor yang dapat menghambat peran Islam politik di Indonesia

Salah satu faktor penghambatan peran Islam politik di Indonesia seperti pandangan Bapak Moh. Natsir sebelum mengungkapkan Mosi Integral. Yaitu menghadapi politik “devide et impera” Belanda. Dalam strategi Belanda yang berhasil mendirikan Negara republik Indonesia Serikat (RIS) atau federal. Rencana strategi Belanda tersebut tergambar dalam 4 peristiwa: pertama, dengan dengan menyelenggarakan konferensi Malino I dan II. Kedua, diadakannya perjanijian Linggarjati. Ketiga, diselenggarakannya perjanjian Renvile. Dan yang keempat adalah dengan mengadakan Konferensi Meja Bundar. Mengingat hal tersebut Bapak Moh. Natsir kemudian mengungkapkan Mosi Integralnya pada tanggal 3 April 1950.  Adapun faktor-faktor lain yang menghambat peran politik islam adalah:
a.    Pluralitas keagamaan: Indonesia memiliki keragaman agama dan keyakinan, sehingga mempersulit dominasi satu kelompok agama tertentu dalam politik.
b.    Fragmentasi internal: Ada banyak kelompok dan partai politik Islam yang berbeda pandangan dan kepentingan, sehingga sulit untuk mencapai kesatuan politik.
c.    Regulasi dan kebijakan pemerintah: Beberapa regulasi dan kebijakan pemerintah bisa menjadi hambatan, seperti aturan yang membatasi penggunaan simbol agama dalam kampanye politik.
d.    Stigma dan persepsi publik: ada stigma negatif terhadap politik berbasis agama, terutama terkait dengan kekhawatiran tentang radikalisme dan inteloransi.
e.    Kompetisi dengan ideologi lain: Parta politik Islam harus bersaing dengan partai-partai lain yang mengusung ideologi nasionalis, liberal, atau lainnya yang juga kuat dan memiliki basis massa yang besar.
f.    Kurangnya pendidikan politik: Masih banyak masyarakat yang kurang memahami pentingnya peran politik Islam, sehingga partisipasi dan dukungan terhadap partai politik Islam bisa terbatas.
g.    Banyak tokoh memiliki pemikiran yang sekuler: Tokoh-tokoh khawatir jika penerapan yang digunakan adalah hukum syari’ah dan dapat membatasi kebebasan individu mereka dan beranggapan merusak prinsip-prinsip demokrasi.
4.    Analisis peran dan posisi Islam politik di Indonesia
 
Analisis peran dan posisi Islam politik di Indonesia berdasarkan teori Pluralisme politik:
Dalam kerangka teori pluralisme politik, Islam politik di Indonesia memainkan peran penting  sebagai salah satu aktor dalam sistem politik yang kompleks dan beragam. Posisi mereka signifikan tetapi tidak dominan, karena mereka harus beroperasi dalam konteks yang pluralistik, di mana berbagai kelompok bersaing dan ideologi saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh. 

Sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah memilih bentuk negara yang tidak berdasarkan pada satu agama tertentu, meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim. Pluralisme politik di Indonesia memungkinkan berbagai kelompok Islam politik, untuk berpartisipasi dalam proses politik

Dalam teori pluralisme, tidak ada satu kelompok berkompetisi untuk memengaruhi kebijakan  publik dan pemerintahan. Di Indonesia, Islam politik menempati posisi penting tetapi bukan satu-satunya kekuatan dalam sistem politik.

Meskipun memiliki peran, Islam politik juga menghadapi beberapa hambatan. Salah satu tantangan terbesar bagi Islam politik adalah fragmentasi internal. Berbagai kelompok Islam memiliki interpretasi yang berbeda tentang bagaimana Islam harus diterapkan dalam politik, yang sering kali menghambat kesatuan dan efektivitas mereka. Hambatan lainnya adanya persaingan Ideologi, stigma dan resistensi dari kelompok-kelompok yang mendukung sekularisme atau pluralisme.

5.    Indonesia kebangkitan Islam politik di Indonesia

Di Indonesia, geliat kebangkitan Islam dapat dirasakan dengan munculnya gerakan-gerakan Islam yang mencoba melakukan gerakan transformasi sosial, baik kultural maupun struktural. Setelah munculnya reformasi, gerakan-gerakan ini semakin jelas dan benar-benar telah mengambil peran nyata dalam kehidupan sosial. 

Kebangkitan Islam di Indonesia tentunya sudah terlihat secara garis besar. Di mana para ulama dan penceramah menyebarluaskan ilmu-ilmu agama yang dapat diamalkan. Kebangkitan ini adalah fenomena kompleks yang mencakup berbagai aspek kehidupan Muslim di seluruh dunia. Tidak hanya terlihat dalam aspek religius, tetapi juga dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sosial.
 
Kebangkitan Islam politik juga terlihat dalam konteks nasional maupun internasional. Seperti banyaknya simbol-simbol Islam yang digunakan dan adanya partai-partai Islam. Kebangkitan Islam politik ini mempengaruhi berbagai macam aspek kehidupan masyarakat. Seperti peningkatan kesadaran dan praktik keagamaan di mana-mana, pertahanan politik Islam yaitu bangkitnya partai-0partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN). 

Meskipun terlihat adanya kebangkitan Islam politik di Indonesia, namun, banyak juga tantangan dalam hal integrasi dengan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, dan modernitas, yang menjadi ciri khas dari masyarakat Indonesia yang beragam. Berikut beberapa kegagalan dalam Islam politik:
a.    Kemenangan Islam politik ternyata tidak merbah struktur politik yang ada.
b.    Teoritis Islam berjarak dengan politik.
c.    Ketidakmampuan politisi Islam di negara-negara Islam dalam membangun logika politik rasional dalam prosesnya.
d.    Dalam tatanan konsep Islam politik belum mampu mengajukan konsep-konsep yang lebih fundamental dan subtantive
Adapun sebab-sebab Islam politik berhasil adalah:
a.    Tradisi Islam yang tidak memisahkan antara politik dan agama.
b.    Kegagalan program dan orientasi negara sekuler.
c.    Modernitas yang dilakukan melahirkan kesenjangan sosial, marjinalisasi masyarakat, aliensi politik, dan peminggiran kultur politik Islam.

Saran dan Rekomendasi

Kejatuhan Turki Utsmani pada tahun 1924 merupakan peristiwa besar yang tidak hanya mempengaruhi dunia Islam secara umum, tetapi juga membawa dampak bagi peran dan posisi Islam politik di Indonesia. Selama berabad-abad kekhalifahan ini telah di anggap membawa simbol persatuan umat Islam global dan memiliki pengaruh yang besar terhadap komunitas Muslim di berbagai wilayah, termasuk di Indonesia. Setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani, muncul kekosongan kekuasaan yang mempengaruhi dinamika politik Islam, yang kemudian mendorong umat Islam di Indonesia untuk mencari bentuk baru dalam mempertahankan identitas dan pengaruh poilitik. 

Di sisi lain, juga mendorong munculnya diskusi dan perdebatan di berbagai kalangan cendekiawan dan aktivis Islam tentang bentuk politik Islam yang paling sesuai untuk Indonesia. Beberapa kelompok berusaha untuk kembali menghidupkan konsep Islam dalam konyeks modern, sementara yang lain mendorong bentuk-bentuk poltik yang lebih demokratis dan inklusif. Perdebatan ini berlanjut hingga hari ini, mencerminkan kompleksitas hubungan antara warisan historis kekhalifahan dan realitas politik modern Indonesia. 

Daftar Pustaka

Caroline Finkel Buku:”Osman’s dream:the story of the ottoman empire 1300-1923”

Ihsanira dhevina E, M.A dalam opininya:”Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Deklarasi Jakarta”. https://setkab.go.id

William L. Cleveland dan Martin Bunton dalam buku:”A History of the Modern Middle East”

Muhammad Basri, Pebrina Hesti Sagala, Aulia Khaerani dalam jurnal: “dampak kemunduran kerajaan turki utsmani terhadap pendidikan”

Winda Desilia Putri dalam Skripsi: “Keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmani Tahun 1924” hal. 43

Dr. Ali Muhammad As-Shallibi: “Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah”

Roboguru.ruangguru.com

Perpustakaan Universitas Erlangga dalam Jurnal: “Pasca Keruntuhan Turki Utsmani, Umat Islam di dunia”

Laffan, Michael (2003). “Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma below the winds”. Routledge. Hal. 214

Dampak keruntuhan atas keruntuhan turki Utsmani di hindia belanda. Hal. 161

Badri Yatim, Soekarno, islam dan nasionalisme. Hal. 143-144

Ahmad Murjoko “Mosi Integral Natsir 1950” hal. 51-52

Jamaluddin dan Mohamad Rapik “kebangkitan Islam di Indonesia perspektif Post-Tradisionalisme Islam” hal. 128. (Red)

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Redaksi Author