Sejarah Turki Utsmani dan Dampak Bagi Peran dan Posisi Islam Politik di Indonesia

Sejarah Turki Utsmani dan Dampak Bagi Peran dan Posisi Islam Politik di Indonesia

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Istiqomah
mahasiswi STID MOHAMMAD NATSIR


1.    Historisme Singkat Kekhalifahan Turki Utsmani Hingga Berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI)

Khalifah Turki Utsmani memiliki peran yang penting dalam sejarah Islam, yang berasal dari bangsa Turki dan suku Oghuz yang memulai kesultanan utsmaniyah, yang dimulai dengan pendiri oleh Erthugul. Sejarah kesultanan Utsmaniyah dapat dibagi menjadi sembilan fase, dimulai dari fase perintisan dan pendirian (fase pertama dan kedua), kemudian fase pelayanan (fase ketiga dan keempat), serta fase stagnasasi (fase kelima hingga delapan) yang mencakup periode kemunduran dan pembaruan Turki Utsmani. Dan fase kesembilan adalah sebagai fase kekahalifahan Partai Republik . 
Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan organisasi multilateral terbesar setelah PBB yang mendukung perdamaian serta keamanan internasional, yaitu melindungi umat Islam di Eropa pada saat itu, yang berdiri pada tahun 1969. Organisasi OKI untuk memperkuat kerjasama dan solidaritas antar anggota dalam melindungi hak dan kepentingan Islam, OKI didirikan berdasarkan keputusan Konferensi Tingkat Tinggi Islam pertama di Rabat pada tanggal 22-25 Agustus. Organisasi ini dibentuk sebagai respons terhadap serangan pembakaran terhadap masjid Al-Aqsa di Yerusalem oleh seorang Yahudi ekstremis Australia pasa tanggal 21 Agustus 1969. Sejak didirikan, Turki telah menjadi salah satu negara pendiri OKI dan terlibat aktif dalam kegiatan organisasi ini. Turki juga telah mendukung perlindungan hak minoritas muslim di dalam negara serta menjadi penyelesaian masalah mereka.

*2.    Sebab-Sebab Keruntuhan Turki Utsmani*

Awal kemunduran Turki Utsmani dimulai setelah kepemimpinan Sultan Sulaiman Al-Qaununi, kemudianpada tahun 1924 Masehi kesulranan Turki Utsmani mengalami keruntuhan. Pada abad ke-18 adanya perang pemikiran dari negara-negara imperialis Eropa. Perang pemikiran yang melahirkan nasionalis Turki dan Arab, yang menjadi faktor terpecah belahnya Turki Utsmani, dan serta adanya perselisihan internal yang memperlemah kesatuan kerajaan Dalam hal ini Jammaluddin Al-ghani tidak membuahkan hasil ketika saat Turki Utsmani dijajah oleh negara-negara Eropa. 
Kemudian Mustafa Kemal Pasha muncul untuk mengadakan pembeharauan yang mengacu pada pemikiran-pemikiran Barat. Maka ditetapkan bahwa 3 Maret 1924 sebagai runtuhnya Turki Utsmani oleh Mustafa Kemala Pasha sebagai faktor runtuhnya Turki Utsmani. 

*3.    Dampak Negatif dan Positif Kejatuhan Turki Utsmani*

Dampak dari runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani sangat siginifikan. Masuknya pemikiran barat dengan menghapuskan syariat Islam dan mengadopsi pemikiran Barat, kehilangan Pan-Islamisme yang memepengaruhi pendidikan, agama, fisik, politik serta agama, dan pembatasan pengaruh Islam dalam politik pasca Mustafa. 
Namun, dari keruntuhan Turki Utsmani ada dampak positif seperti bangkitnya nasionalisme di dunia Islam yang mencintai tanah air dan menjaga persatuan, meskipun terjadi disentegrasi sosial.

*4.    Analisis Dampak Kejatuhan Turki Utsmani terhadap Peran dan Posisi Islam Politik di Indonesia*

Jatuhnya kekhalifahan Utsmani pada tahun 1919 menciptakan dinamika yang kompleks di Hindia Belanda. Awalnya, kejatuhan ini menjadi perhatian bersama yang menyatukan umat Islam di Hindia Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu, dampaknya justru memunculkan perpecahan kalangan umat Islam di sana. Perpecahan ini terjadi antara golongan pembeharu dan tradisional serta di anatara sesame golongan pembeharu, yang didorong oleh berbagai kepentingan dalam menanggapi peristiwa tersebut. 
Secara khusus di Hindia Belanda, terdapat perpecahan antara kelompok yang ingin melakukan reformasi dan kelompok tyang mempertahankan tradisi, yang terkait erat dengan perkembangan kondisi sosial politik pasca runtuhnya kekaisaran Utsmaniyah, terutama di wiliayah Hijaz. Peristiwa penting adalah naiknya Ibnu Sa’ud sebagai penguasa Mekkah. Ibnu Sa’ud dikenal karena pandangannya yang keras dan tidak kompromis terhadap doktrin agama. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan kelompok tradisionalis bahwa kekuasaan Ibnu Sa’ud akan diikuti dengan penghapusan atau penindasan keagamaan, sesuai dengan ajaran mazhab di tanah Hijaz. Selain menjadi tujuan ziarah dan haji umat Muslim global, wilayah ini juga memiliki signifikan penting dalam perjalanan ilmiah. 
Situasi ini mendorong Abdul Wahab untuk menggalang aspirasi kalangan tradisonal dengan menggunakan kendaraan pribadinya. Kemudian, Abdul Wahab mengambil langkah untuk mengadakan pertemuan di kalangan ulama tradisional dalam sebuah wadah kepentingan yang dikenal sebagai komite Hijaz. Pertemuan ini fokus pada permasalahan Hijaz sebagai topic utama. Komite tersebut kemudian bertransformasi menjadi Nahdhatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926 di Suarabaya. Mereka menegaskan komitmen mereka pada mazhab Syafi’I dan memutuskan untuk tetap mendukung keberadaan Mazhab Syafi’i di Mekkah dan Hindia Belanda. Mereka tidak juga menegaskan bahwa mereka tidak akan menghalangi pihak lain yang memilih untuk tidak mengikuti mazhab Syafi’i.  
Selain dengan golongan tradisional, keruntuhan Turki Utsmani juga memunculkan ketegangan di antara golongan pembeharu yang berbeda pandangan. Golongan pembeharu mencakup golongan Islam komunis dan nasionalis. Golongan Islam pembeharu seperti SI, Muhammdiyah, Al-Irsyad menganggap bahwa keruntuhan Utsmani sebagai peristiwa penting yang harus ditanggapi, sementara golongan komunis menentang Islam sebagai agama.

*5.    Hubungan Antara Kejatuhan Turki Utsmani dengan Peran dan Politik Islam di Indonesia*

Pada tahun 1917, kesultanan Ustamniyah dibawah kepemimpinan Salim I merebut Mesir dan menggulingkan khalifah terakhir dari dinasti Abbasiyah. Setelah itu, Salim I menobatkan dirinya sebagai khalifah. Dengan demikian, Madinah menjadi pusat kekuasaan sejak abad ke-18, dimana sultan Utsmaniyah mulai mengadopsi konsep khalifah sebagai kepala agama Islam. Pada awal abad ke-20, kepala negara Turki secara konsisten menggunakan gelar Sultan untuk urusan dunia dan gelar khalifah untuk urusan agama. 
Munculnya gerakan Pan Islam yang secara klasik artinya merujuk pada upaya untuk menyatukan seluruh dunia Islam dibawah satu kekuasaan politik dan agama dipimpin oleh seorang khalifah. Secara modern, konsep ini berarti bahwa kepemimpinan khalifah hanya mencakup aspek agama. Pada era Utsmani, gerakan Pan Islam digunakan oleh Turki untuk mengumpulkan umat Islam dibawah kerajaan Utsmani, menrik perhatian Asia dan Afrika yang saat itu sebagian besar sedang dijajah oleh Barat. Gerakan ini coba memanfaatkan kemajuan Barat sambil mempertahankan nilai-nilai Islam. Selanjutnya gerakan Pan Islam berusaha memperkuat solidaritas di antara umat Islam, meskipun dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah. 
Meskipun letak kepulaun Indonesia sangat jauh dari Turki, hal ini tidak menghalangi hubungan antara kedua wilayah tersebut. Pada abad ke-16, Aceh memiliki perwakilan di Istanbul, senjata api Turki dan tentara juga dikirim ke Aceh untuk membantu tentara setempat menghadapi portugis di Malaka. Belanda juga tidak lupa akan kenyataan sejarah ini, diamna sebagian besar kekhawatirannya terhadap gerakan Pan Islam dipicu oleh masalah di Aceh. Hingga menjelang abad ke-20, upaya mereka untuk mengatasi masalah ini belum selesai sepenuhnya, menghadapi tantangan yang sangat sulit dan berlarut-larut. 
Pada tahun 1924, setelah runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah, khalifah dihapus di Turki oleh Mustafa Kemal Atatruk, yang kemudian menjadikannya republic sekuler. Titik politik luar negeri Turki yang sebelumnya berorientasi pada kehidupan Islam berubah lebih menekankan kepentingan nasional daripada internasional. Keputusan penghapusan jabatan khalifah pada tahun 1924 sesuai dengan arah baru politik luar negeri yang ditetapkan dalam siding majelis agung pada tanggal 11 Maret 1924. Mustafa Kemal menekankan pentingnya memisahkan agama Islam dari situasi politik yang telah berlangsung selama berabad-abad. Penghapusan khalifah di Turki ini mengejutkan dunia Islam karena Istanbul telah lama menjadi simbol kekuatan politik bagi dunia timur. Hal ini menimbulkan berbagai pendapat pro dan kontra, juga berdampak pada gerakan Pan Islam yang dibawah kendali Turki kala itu. 
Gerakan Pan Islam memberikan bantuan signifikan bagi Indonesia saat masa penjajahan Belanda. Namun, Snouck Hurgronje seorang penasehat Belanda keras menentangnya. Bagi pemerintah kolonial, menentang semangat Pan Islam adalah prinsip yang harus dipegang teguh. Snouck Hurgronje merekomendasikan agar Belanda tidak takut untuk menjalankan kebijakan sesuai kepentingan mereka sendiri. pengawasan ketat dilakukan terhadap mukminin dan orang Arab di Indonesia, karena mereka membantu perkembangan Islam. Kecurigaan terhadap kiayi, pesantren, dan tarekat juga menjadi perhatian, mengingat banyak mukmin yang kembali dan menjadi guru di pesantren atau terlibat dalam tarekat mistik.

*6.    Pengaruh Antara Kejatuhan Turki Utsmani Dengan Peran dan Posisi Islam Di Indonesia*

Keruntuhan kesultanan Utsamniyah bagi golongan nasionalis dianggap sebagai peluang kemajuan dan kemerdekaan bagi rakyat untuk memilih persatuan bangsa dengan dasar nasionalisme sekuler sebagai pengikut yang mampu menyatukan beragam kompenen masyarakat. Transformasi Turki menjadi negara sekuler bagi kaum nasionalis dipandang sebagai pilihan rasional setelah sebelumnya menggunakan Islam sebagai landasan negara, yang dianggap menghambat perkembangan dan kemajuan. Pandangan ini tentu ditolak oleh golongan Islam karena dianggap mengkompromikan posisi Islam sebagai landasan negara. Kondisi ini, semakin mempertegas pertentangan antara kedua golongan dan menimbulkan konflik berkepanjangan serta perpecahan di kalangan pembaharu Islam sendiri, terutama setelah kembalinya delegasi Hindia Belanda dari kongres Islam di Mekkah. Secara khusus, penerapan disiplin partai oleh Sarekat Islam terhadap Muhammdiyah dikarenakan isu kepribadian Tjokrominoto sebagai salah satu delegasi dalam kongres tersebut. Selain itu, monopoli cerita khalifah yang dilakukan oleh Sarekat Islam membuat isu khalifah menjadi eksklusif, sehingga dampaknya isu khalifah tidak lagi mempersatukan pembaruan Islam. 
Akhirnya, keruntuhan kesultanan Utsamniyah pada dasarnya menunjukkan dualitas dampaknya bagi umat Islam Hindia Belanda. Dampak positifnya, seperti yang dibahas sebelumnya adalah terciptanya rasa persatuan di kalangan umat Islam, terbukti dengan diadakannya Kongres Al Islam. Namun disisi lain, dampak negatif juga turut mengiringi peristiwa tersebut, seperti terjadinya perpecahan umat Islam Hindia Belanda. Perpecahan ini memiliki banyak penyebab, tetapi secara umum disebabkan oleh perbedaaan pandangan dan tarik menarik kepentingan kelompok yang tidak dapat disatukan. Pada tahun 1935, umat Islam Hindia Belanda berupaya menyelesaikan konflik ini, yang akhirnya membuahkan hasil dengan penyatuan kembali dalam majelis Islam Al Indonesia (MIAI) pada tahun 1837, meskipun dengan fokus dan tujuan gerakan yang berbeda.

*7.    Faktor-Faktor Yang Dapat Menghambat Peran dan Posisi Islam Politik Di Indonesia* 

Mayoritas teori tentang hubungan negatif antara Islam dan demokrasi didasarkan pada interpretasi terhadap tradisi politik Islam. Disisi lain pandangan yang positif hubungan ini juga mengacu pada tradisi Islam yang sama, namun ditafsirkan secara berbeda . Maka perlu ditekankan bahwa politik Islam yang sesuai dengan ajaran Islam berbeda dengan konsep Islam politik, yang dianggap sebagai ideologi atau gerakan untuk membangun negara Islam atau menerapkan syariat Islam di dalamnya. Beberapa faktor yang menghambat peran Islam di Indonesia meliputi:
1.    Kompleksitas dalam kondisi politik, di mana adanya berbagai kepentingan politik bersaing sulit bagi partai-partai Islam untuk mencapai kekuatan politik yang signifikan. Fragmentasi dan persaingan internal di antara partai-partai Islam mengurangi efektivitas mereka sebagai kekuatan politik yang bersatu.
2.    Indonesia memiliki tradisi sekuler yang kuat dan masyarakat yang heterogen secara agama, budaya, dan etnis, yang menyulitkan partai-partai Islam untuk mendominasi panggung politik secara menyeluruh.
3.    Keterbatasan dalam penerimaan ideologi politik Islam oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, yang mungkin menerima Islam sebagai agama pribadi tetapi tidak dalam konteks politik.
4.    Pengaruh globalisasi dan modernisasi membawa nilai-nilai sekuler yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam konservatif, mengurangi daya tarik politik dari partai-partai Islam tradisional.

*8.    Analisis Peran Dan Posisi Islam Politik Di Indonesia Dengan Menggunakan Teori Dan Pendekatan Politik (Teori Legal Konstitional)*

Analisis peran dan posisi Islam politik di Indonesia dari perspektif teori politik legal konstitusional melibatkan studi tentang bagaimana Islam berinteraksi dengan struktur politik dan hukum konstitusional di negara ini. Secara historis, Islam telah memainkan peran penting dalam politik Indonesia sejak awal kemerdekaan. Dalam kerangka teori politik legal konstitusional, peran Islam dapat dipahami melalui beberapa aspek:
1. Konstitusi dan Hukum, Konstitusi Indonesia mengakui prinsip dasar negara Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama dan mengakui Islam sebagai salah satu agama resmi. Teori politik legal konstitusional mempertimbangkan bagaimana prinsip-prinsip Islam diimplementasikan dalam hukum positif dan sejauh mana mereka sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusional lainnya.
2. Partisipasi Politik, Partai-partai politik berbasis Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan lainnya memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik Indonesia. Mereka berperan dalam proses legislatif dan pembentukan kebijakan, mencerminkan bagaimana Islam diterapkan dalam kerangka hukum dan konstitusional.
3. Sistem Hukum, di Indonesia, terdapat dualisme sistem hukum, dengan hukum nasional yang berbasis Pancasila dan hukum Islam yang terutama berlaku dalam hukum keluarga. Pendekatan ini mencerminkan integrasi Islam dalam kerangka hukum nasional, sering kali dalam konteks teori politik legal konstitusional.
4. Peran Lembaga Agama, Lembaga-lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki peran dalam memberikan pandangan Islam terhadap kebijakan publik, meskipun tidak memiliki kewenangan formal, namun memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk opini publik terhadap keputusan politik dan hukum.
Dengan pendekatan ini, kita dapat melihat bahwa Islam politik di Indonesia tidak hanya relevan dalam dimensi agama, tetapi juga terintegrasi dalam struktur hukum dan politik secara lebih luas. Ini menunjukkan bagaimana teori politik legal konstitusional membantu memahami kompleksitas interaksi antara agama, hukum, dan politik dalam konteks negara yang pluralistik seperti Indonesia.

*9.    Trend Kebangkitan Islam Politik Di Indonesia*

Kebangkitan Islam di Indonesia tidak hanya terlihat dari peningkatan jumlah pemeluknya, tetapi juga dalam ekspresi politik yang signifikan. Contohnya, di lapangan Monas Jakarta, ratusan ribu umat Islam menggelar aksi Bela Islam, mencerminkan fenomena gerakan populisme Islam yang semakin kuat menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden pada 17 April 2019. Populisme Islam di Indonesia, seperti gerakan populis pada umumnya, melibatkan berbagai kepentingan kelas yang mungkin bertentangan dan memiliki tingkat artikulasi yang berbeda. Salah satu ciri khasnya adalah penggunaan bahasa politik yang berbasis agama Islam. Dalam konteks negara demokratis seperti Indonesia, populisme Islam adalah sebuah bentuk kritik yang sah terhadap sistem politik yang ada. Menganggapnya sebagai ancaman berlebihan dan makar, tidak selaras dengan sejarah dan realitas politik saat ini. 
Dalam sejarahnya, Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai kekuatan politik yang signifikan di dunia. Ini terlihat dari keberadaan berbagai kekuatan politik dari masa kerajaan Hindu-Budha hingga kesultanan Islam. Meskipun mengalami penurunan signifikan akibat kolonialisme Belanda yang berlangsung selama 350 tahun, Islam politik tetap berkembang di Nusantara setelah Indonesia merdeka. Bahkan, selama masa tiga rezim Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi, Islam politik terus menjadi faktor penting dalam politik Indonesia. Artikel ini akan membahas dinamika perkembangan Islam politik di Indonesia, dibagi menjadi dua fase: “tradisional-kerajaan” dan fase modern. 

*10.    Saran Dan Rekomendasi*

Berikut adalah beberapa saran dan rekomendasi terkait posisi Islam politik di Indonesia:
1.    Pentingnya inovasi dan adaptasi
Kesultanan Utsmaniyah jatuh karena kegagalan dalam beradaptasi dengan perubahan zaman, baik hal teknologi maupun sosial politik. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar, perlu terus melakukan inovasi dalam sisitem politiknya untuk tetap relevan dengan tuntunan zaman modern. 
2.    Kekuatan pluralisme dan toleransi 
Utsmaniyah dikenal karena toleransinya terhadap berbagai kelompok etnis dan agama di wilayah kekuasannya. Indonesia dengan keragaman agama dan budaya yang besar perlu mempertahankan nilai pluralisme dan toleransi sebagai dasar utama dalam politiknya. 
3.    Penguatan institusi dan kebijakan 
Salah satu penyebab kejatuhannya Utsmaniyah adalah lemahnya institusi dan kebijakan yang tidak mampu menghadapi tantangan internal dan eksternal dengan efektif. Indonesia perlu memperkuat institusi-institusi demokratisnya dan memastikan kebijakan yang diambil dapat mengahasilkan kesejahteraan bersama serta menjaga stablitas politik. 
4.    Pendidikan dan kesadaran politik 
Peningkatan dan kesadaran politik khusunya dalam memahami Islam yang moderat dan inklusif, membantu mencegah penyebaran ekstrimisme serta memperkuat persatuan dan kesatuan dalam kerangka keberagaman Indonesia. 
5.    Peran ulama dan pemimpin 
Ulama dan pemimpin agama di Indonesia memiliki peran krusial dalam mempertahankan nilai-nilai Islam yang damai dan toleran, mendukung pendidikan agama yang moderat serta mempromosikan dialog antaragama, dan anatar kepercayaan  akan menjadi kunci dalam membangun kedamaian dan stabilitas politik. 
Dengan memperhatikan pelajaran dari sejarah kejatuhan Turki Utsmani, Indonesia dapat mengambil langkah-langkah preventif untuk memperkuat pondasi politiknya dan mengelola peran Islam dalam konteks politik yang moderat inklusif, dan berkelanjutan. 
Dan kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah tidak hanya berdampak pada identitas politik umat Islam di Indonesia, tetapi juga memengaruhi narasi tentang bagaiamana Islam dan politik dapat saling berinteraksi dan beradaptasi di tengah kompleksitas zaman modern. Peristiwa ini mennandai transisi penting dalam sejarah Islam politik global yang terus mempengaruhi perkembangan di Indonesia di seluruh dunia muslim hingga saat ini.

*Refrensi:*
1. Armansyah, Y. (2017). Dinamika Perkembangan Islam Politik Di Nusantara Dari Masa Tradisonal Hingga Modern. Jurnal Kajian Keislaman Dan Kemasyarakatan.
2. Laffen, M. F. (2003). Islamic Nationhood And Colonial Indonesia. The Umma Beloe The Wind, 214.
3. Mufid, M. B. (2022). Sejarah Kerajaan Turki Utsmani Dan Kemajuannya Bagi Dunia. Jurnal Pendidikan Islam dan Isu-Isu Sosial
4. Mujani, S. (2007). Muslim Demokrat, Islam Budaya Dan Partisipasi Politik Di Indonesia Pasca Orde Baru . Gramedia Pustaka .
5. Noer, D. (1982). Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1924. Jakarta: LP3ES.
6. Nofrianti, M. M. (2019). Kemajuan Islam Pada Kekaisaran Turki Utsmani . JUrnal Kajian Keagamaan Dan Kemasyarakatan.
7. Putra, A. E. (2019). Populisme Islam Tantangan Dan Ancaman Bagi Indonesia . Jurnal Teropong Politik Islam , 
8. Steenbink, A. K. (1994). Pesantren, Madrasah, Sekolah. Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern.
9. Suminto, H. A. (1985). Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta : LP3ES. (Red)

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Redaksi Author